Puncak Jayawijaya, ikon salju abadi Indonesia, menghadapi ancaman kepunahan. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprediksi lapisan esnya akan hilang sepenuhnya pada tahun 2026.
Ancaman Perubahan Iklim: Mencairnya Es Abadi Jayawijaya
Hilangnya es abadi di Puncak Jayawijaya merupakan dampak nyata perubahan iklim global. Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, menekankan hal ini, dan menyebut fenomena serupa juga terjadi di Pegunungan Himalaya, termasuk di sekitar Gunung Everest.
Peningkatan gas rumah kaca menjadi penyebab utama percepatan perubahan iklim. Pembukaan lahan hutan, khususnya di Papua, melepaskan karbon dioksida ke atmosfer dan meningkatkan suhu permukaan bumi.
Data pemantauan menunjukkan penyusutan es yang mengkhawatirkan. Kerja sama BMKG dan PT Freeport Indonesia sejak 2010 telah mencatat perubahan drastis ketebalan es.
Pemantauan dan Data Penyusutan Es Abadi
Pada tahun 2010, ketebalan es tercatat mencapai 32 meter. Namun, pada periode November 2015 hingga Mei 2016, ketebalan tersebut menyusut drastis menjadi hanya 5,6 meter.
Pada tahun 2024, luas es yang tersisa diperkirakan hanya 0,11-0,16 kilometer persegi. Ini jauh lebih kecil dibandingkan luas es pada tahun 2022 yang mencapai 0,23 kilometer persegi.
Awalnya, pemantauan dilakukan secara langsung hingga Puncak Sudirman. Namun, sejak 2017, keterbatasan akses memaksa tim peneliti beralih ke pemantauan visual udara.
Data-data ini menggambarkan percepatan mencairnya es di Puncak Jayawijaya. Hal ini bukan sekadar kehilangan keindahan alam, melainkan juga sinyal peringatan serius atas dampak perubahan iklim.
Penyusutan es abadi di Puncak Jayawijaya bukan hanya kehilangan simbol alam, tetapi juga dampak nyata krisis iklim global. Upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, termasuk pengurangan emisi gas rumah kaca dan perlindungan hutan, sangat mendesak untuk mencegah kerusakan lingkungan yang lebih parah. Peristiwa ini seharusnya menjadi pengingat penting bagi kita semua untuk lebih peduli terhadap lingkungan.